Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengidentifikasi adanya kesenjangan (gap) dalam sistem penjaminan mutu obat pada industri farmasi di Indonesia. Hal ini terkait dengan pengawasan obat di peredaran dalam kasus obat sirop mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Kepala BPOM Penny Lukito mengungkapkan, kesenjangan tersebut menjadi celah yang sengaja dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai modus kejahatan obat, hingga menyebabkan maraknya kasus gagal ginjal akut yang dialami anak-anak.
"Ada aspek kejahatan dan kelalaian, dan kita bersama-sama menutup gap yang ada, memastikan pengawasan bisa kita perkuat ke depannya," kata Penny dalam keterangan pers, Kamis (17/11).
Penny menjelaskan, kesenjangan atau gap tersebut menyangkut adanya pemasukan bahan pelarut yang merupakan komoditi non-lartas. Dilaporkan, bahan pelarut yang digunakan sejumlah industri farmasi dalam temuan dari penyidikan kasus ini, tidak melalui pengawasan dan tidak memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM.
Kemudian, poin kesenjangan lain yakni tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional. Menurut Penny, hal ini membuat pihaknya tidak memiliki payung hukum untuk melakukan pengawasan.
"Kami sudah memberikan masukan pada Kemenkes. Saya kira ini akan berproses, dan menjadi masukan kami pada dunia internasional untuk melakukan proses juga sehingga hal ini tidak terulang kembali," ujarnya.
Selain itu, Penny menyebut kondisi maturitas atau kepatuhan industri farmasi yang mayoritas masih berada di level bawah juga perlu jadi perhatian. Hal ini harus dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan yang berdampak pada masyarakat.
Berikutnya, lanjut Penny, ia juga menyoroti terkait kelangkaan bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut pharmaceutical grade dengan chemical grade dalam periode tertentu. Poin inilah yang lantas dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
"Sehingga itu menjadi pertimbangan yang dikaitkan dengan dukungan atau dorongan, untuk kita segera membangun kemandirian dikaitkan dengan bahan tambahan obat," tutur Penny.
Ada pun poin kesenjangan terakhir yakni terkait sistem pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang tidak digunakan oleh tenaga kesehatan, dan tidak adanya efek jera dari perkara hukum selama ini pada kasus kejahatan obat dan makanan.
Penny berharap, tugas pengawasan obat dan makanan tidak hanya dijalankan oleh BPOM namun juga dua pilar lainnya. Pertama, pelaku usaha sebagai produsen hingga penjual produk obat dan makanan kepada konsumen.
"Pelaku usaha memegang tanggung jawab utama dalam menjamin terpenuhinya persyaratan keamanan mutu dan manfaat atau khasiat produk, sesuai dengan persyaratan standar yang ditegakkan dalam sertifikat CPOB, CDOB, dan uji klinik yang baik," jelas dia.
Ada pun pilar kedua yaitu konsumen, yang menjadi rantai skrining akhir dari produk obat dan makanan. Dalam hal ini, imbuh Penny, pihaknya mengimbau masyarakat sebagai konsumen agar melakukan pengawasan dan melaporkan kepada BPOM jika menemukan pelanggaran dari produk obat dan/atau makanan yang dikonsumsi.
"Kejadian ini juga menjadi pembelajaran bagi kami untuk mereview, menegakkan aturan-aturan lebih ketat lagi untuk tahapan-tahapan atau proses dan produk-produk yang mempunyai risiko tinggi," pungkas Penny.